Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin. FOTO: DOK.JPNN.com |
PARTAI Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini dinilai dalam situasi yang cukup sulit menentukan calon gubernur DKI Jakarta. Pasalnya, 'kesepakatan' politik dengan petahana Basuki Tjahaja Purnama, tak juga kunjung tercapai. Sementara fenomena gubernur yang akrab disapa Ahok tersebut, terus menguat.
Kondisi tersebut, menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, membuat partai pemenang pemilu 2014 dan satu-satunya partai yang dapat mengajukan calon gubernur tanpa harus berkoalisi dengan partai lain ini, terpaksa bekerja keras.
Berbagai cara dilakukan. Mulai dari membuka pendaftaran bagi tokoh-tokoh yang ingin maju sebagai bakal calon gubernur DKI atau merumuskan kebijakan lain. Termasuk desas-desus yang terus menguat, memboyong Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ke Jakarta berpasangan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.
Namun apakah langkah tersebut cukup efektif? Mengapa PDIP perlu bekerja keras? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN.com, Ken Girsang dengan Direktur Sigma Said Salahudin di Jakarta, Selasa (10/5):
Bagaimana Anda melihat kondisi PDIP menghadapi Pilkada DKI Jakarta?
Saya melihat kondisi yang ada saat ini, cukup sulit sekali bagi PDIP. Sebab fenomena Ahok ini memang unik. Meskipun banyak sekali kekurangan dan kelemahan yang secara nyata bisa kita saksikan, tapi publik Jakarta menaruh simpati dan menyukainya.
Ahok memang sering kasar dan mungkin juga kejam terhadap para pejabat, partai dan elite politik, bahkan terhadap rakyat. Tapi anehnya, banyak orang masih menyukainya.
Artinya, apakah memang masyarakat Jakarta melihat Ahok sosok ideal?
Saya melihat, Ahok memang bukan figur yang ideal untuk seorang kepala daerah, untuk seorang pemimpin. Tapi sejauh ini, rakyat menilai dan menganggap Ahok masih pantas untuk pimpin Jakarta. Untuk itu memang partai seperti PDIP harus betul-betul bijak dan berhati-hati dalam mengambil keputusan nanti.
Kalau PDIP mencalonkan Risma, apakah bisa menyaingi popularitas Ahok?
Saya kira saat ini semua partai sedang sibuk mencari calon yang bisa mengalahkan Ahok. Sebab calon-calon yang saat ini muncul, belum sanggup menyaingi dan mengalahkan Ahok. Popularitas dan elektabilitas mereka masih jauh dari Ahok. Saya kira termasuk PDIP. Sebagai partai pemenang dengan kursi terbanyak di DPRD DKI, tentu akan malu jika mencalonkan pasangan lalu kalah oleh Ahok yang maju lewat jalur perseorangan. Tentu PDIP tidak mau itu terjadi.
Sementara kalau mendukung dan mencalonkan Ahok, kelihatannya sudah agak kecil kemungkinan jika melihat realitas politik DKI saat ini. Karena itu, wajar jika semua figur yang potensial untuk menyaingi Ahok lalu dimunculkan ke publik. Nah, saya melihat kemunculan Risma kembali dalam konteks seperti itu.
Mengapa disebut kemunculan kembali?
Sebab Risma dulu sudah pernah dengan tegas mengatakan tak mau dicalonkan sebagai gubernur DKI. Dan memang belum juga ada kepastian apakah Risma akan dicalonkan dan atau mau dicalonkan.
Bagaimana dengan Djarot?
Djarot kalau dilihat dari tingkat popularitasnya, tak cukup kuat untuk mengalahkan Ahok. Dan hampir tak ada figur lain dari PDIP yang kuat untuk melawan Ahok. Karena itu saya kira sebagai partai pemenang Pemilu di Jakarta, PDIP agaknya merasa harus mengajukan calon sendiri yang juga merupakan kader partai.
Dari segi politik bisa juga dibaca bahwa PDIP sedang mengirimkan signal untuk mencalonkan Risma, sambil berupaya membujuk Risma mau dicalonkan PDIP sebagai gubernur DKI. Juga untuk menjajaki bagaimana respons rakyat Jakarta terhadap figur Risma.
Apakah dapat disebut ini strategi PDIP?
Iya, saya kira ini bagian dari strategi PDIP untuk mencari cara bagaimana mengalahkan Ahok dalam Pilkada DKI. Namun semua itu belum bisa dipastikan sekarang. Masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
Karena pertanyaan yang masih harus dijawab, apakah Risma bisa kompetitif jika diusung melawan Ahok. Kemudian strategi apa yang bisa dilakukan untuk memenangkan Risma? Sebab sesuai survei beberapa lembaga popularitas dan elektabilitas, Risma di Jakarta masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Ahok.
Menurut Anda, apakah Risma mau dicalonkan?
Saya kira itu juga pertanyaan penting lain yang perlu djawab. Kemudian juga kalau ia mau, lantas siapa pasangannya yang paling tepat. Saya kira tak semudah itu membujuk Risma. Sebab dia terikat dengan rakyat Surabaya yang baru saja memilih dia kembali dengan angka yang sangat tinggi. Bisa saja Risma dianggap berkhianat terhadap kepercayaan rakyat Surabaya. Apalagi Pilkadanya baru berlangsung dalam waktu yang tak terlalu lama. Dan kalau itu terjadi, maka bisa menjadi hal yang negatif bagi prncalonan Risma di DKI Jakarta.
Apakah tepat kepala daerah dari daerah lain dibawa ke Jakarta?
Saya berpendapat memang kurang baik. Apalagi jika kepala daerah itu belum lama terpilih dan malah melompat ke jabatan lain yang lebih tinggi dan bergengsi. Sebab dia dipilih langsung dan mendapatkan mandat dari rakyat untuk memimpin mereka selama satu periode penuh.
Apakah ini tidak berpengaruh bagi PDIP?
Saya kira (kalau PDIP mengusung Risma,red) itu juga akan menjadi sesuatu yang kurang baik dan menguntungkan secara politik bagi PDIP. Baik di Surabaya, Jakarta maupun secara nasional. Sebab pilkada Jakarta ini mendapat perhatian secara nasional. Jadi, jika pencalonan Risma dipaksakan oleh PDIP dalam kerangka seperti itu, maka partai akan mengalami kerugian politik yang besar. Dan ini bisa berakibat kurang baik bagi suara PDIP dalam pemilu berikutnya.
Jadi, belajar dari pengalaman PDIP di masa lalu, memang harus lebih hati-hati jika mengambil kebijakan partai yang melawan kehendak rakyat.
Apakah Risma tepat berpasangan dengan Djarot?
Saya kira itu juga penting dijawab. Karena apakah Djarot ikhlas kalau menjadi calon wakil Risma. Djarot kan sekarang ini wakil gubernur. Bukankah lebih baik sebaliknya, Djarot sebagai calon gubernur dan Risma adalah wakilnya. Kemungkinan ini bisa juga terjadi dengan risiko yang sama seperti di atas tadi.
Lalu kalau bukan Djarot, siapa?
Tentu PDIP punya pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Tapi saya melihat sekarang cukup sulit bagi PDIP untuk menentukan pilihan.(gir/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar