Tak Ada Makanan, Tak Ada Uang
" Langkah saya terhenti saat keluar dari restoran ketika melihat seorang balita telungkup di teras. Terbersit di hati, 'Ya Allah, anak siapa pula ini? Kenapa telungkup di teras restoran?' Rasa marah pun muncul, 'Ke mana ibu bayi itu?'
" Saya pergi mendekat. Ya Allah, rasanya mau menangis. Dengan ingus meleleh, balita itu diasuh oleh kakaknya. Adiknya merengek, kakaknya menyumbatkan ibu jari ke mulutnya untuk dihisap. Balita itu pun berhenti menangis.
" Hati saya pun menangis di dalam. Saya coba bertanya pada kakaknya 'Mana ibu kamu?' yang dijawab 'Mak pergi ke sana'.
" Kakaknya menunjuk arah dengan memancungkan mulutnya. Tak tahu yang mana ibunya.
" Bapak kamu?' saya tanya lagi.
" Ditahan polisi. Tidak punya KTP," jawab si kakak dengan suara sedih.
" Berapa bulan ini usia adik kamu? Kenapa kamu tak jaga dia di rumah saja? Kasihan adik kamu kedinginan," tanya saya.
Saya sedih lihat balita itu. Berbaring di lantai teras restoran tanpa alas sama sekali. Merasa terenyuh dengan keadaannya.
" Tujuh bulan. Di rumah tidak ada makanan. Tidak punya uang untuk beli," kata si kakak sambil mengelap ingus adiknya.
Menyumbat Jempol Agar Adik Diam
" Saya tak tahu harus bertanya apa lagi. Berurai air mata melihat keadaan mereka, terutama bayi itu. Bayi itu masih menghisap jari kakaknya. Saya kemudian pergi ke sebuah toko roti di sebelah restoran.
Di dalam, saya beli susu rendah lemak dan roti untuk sekadar mengganjal rasa lapar dan haus bagi kedua kakak-beradik itu.
Saya balik dan memberikan susu dan roti kepada si kakak. Saya bilang agar suap adiknya dengan roti dan kasih minum susu.
" Kamu juga jangan lupa makan dan minum," kata saya sambil menangis serahkan roti dan susu.
Mereka adalah anak-anak susah. Biasanya mengejar orang untuk minta uang. Saya biasanya tak akan kasih uang. Bukan apa, saya lebih suka memberi mereka barang daripada uang.
Sebab kebanyakan dari mereka akan menyalahgunakan uang itu. Itu sudah menjadi rahasia umum.
(Ism, Sumber: ohbulan.com)