Kisah Nenek Tinah Tukang Sapu yang Salat di Trotoar GBK dan Disayang Kucing Liar
Saat itu sayup-sayup azan Isya berkumandang di Komplek Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta.
Di pinggir pagar komplek itu, tepatnya di trotoar yang menghadap Gedung Kemenpora yang berada di seberang, terlihat sesosok perempuan yang sedang berdiri.
Dalam kegelapan malam dengan temaramnya lampu, lambat laun terlihat gerakannya menyerupai orang yang sedang menjalankan salat. Tidak nampak sajadah yang empuk terhampar, pun tidak terlihat mukena putih yang melekat di tubuhnya.
Sajadah yang menjadi alas hanya lembaran spanduk pemberitahuan.
Di depannya, tersandar sapu lidi dan di belakangnya baju oranye terlihat menyangkut di teralis pagar GBK.
Lokasi salat di sebelah kanannya terserak tanah dan bebatuan dengan lubang galian yang menganga panjang karena ada pembongkaran trotoar, sedangkan di sebelah kanannya berdiri kokoh pagar GBK.
Lalu lintas kendaraan yang memang saat itu adalah jam keramaian, menyumbang kebisingan di lokasi. Namun, perempuan itu berhasil menyelesaikan ritual kewajibannya untuk waktu malam.
Usai menjalankan salat, Kompas.com pun menemuinya. Dia menyebut namanya adalah Nenek Tinah.
Tidak jelas berapa usianya. Berdasarkan tebakannya, dia lahir 3 tahun sebelum pelaksanaan Pemilu 1955.
"Saya tidak pernah meninggalkan salat, itu sudah kewajiban," kata Nenek Tinah ditemui pekan lalu.
Trotoar itu jadi tempatnya beribadah lantaran tidak ada lokasi terdekat untuk salat. Selain itu, ia meyakini waktu paling tepat beribadah adalah ketika suara azan memanggil.
Nenek Tinah merupakan warga kelahiran Pemalang, Jawa Tengah yang mengadu nasibnya di Jakarta pada akhir 1990an. Ia berangkat ke Ibu Kota bersama suami dan anaknya.
Ketika sampai di Jakarta, ia bekerja serabutan dan menjadi tukang bersih-bersih. Kini, ia menjadi petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat. Sedangkan anaknya memilih berdagang.
"Sekarang lumayan gajinya, Rp 3,1 juta tiap bulan," katanya dengan muka berseri.
Uang itu tidak langsung dihabiskan oleh Nenek Tinah. Rp 2 juta ia ambil dari ATM untuk keperluannya sehari-hari, sisanya ia sisihkan untuk menabung.
Nenek Tinah tinggal di sebuah kamar kos-kosan di daerah Palmerah. Sebulan, ia membayar Rp 500.000. Namun, lantaran kosan itu terbilang kecil, maka ruangannya pun tak cukup untuk dirinya berbagi.
"Cuma cukup naroh barang sama kasur aja. Suami saya yang tidur di situ, saya kalau lagi enggak betah ya tidur di jalan," ceritanya.
Jam kerja Nenek Tinah terbilang cukup lama. Jika sedang berada di kos, ia berangkat setelah salat subuh sekitar pukul 05.00 WIB ke wilayah kerjanya di sepanjang Jalan Gerbang Pemuda. Jam kerjanya selesai sekitar pukul 17.00 WIB.
Disayangi kucing liar
Sepanjang obrolan dengan Nenek Tinah, seringkali kakinya yang bersila digesek-gesek manja oleh tiga ekor kucing. Nenek Tinah memang menyayangi binatang, termasuk kucing liar yang berada di sekitarnya itu.
"Sesama makhluk hidup mas, mereka juga cari makan seperti saya. Kalau ada makanan ya saya kasih," katanya seraya mengusap punggung seekor kucing yang berada di dekatnya.
Di lokasi tersebut, Nenek Tinah biasanya menyiapkan piring bekas makannya untuk disajikan kepada kucing-kucing itu. Namun, ketika itu piring tersebut sudah terlihat kosong, hanya dijilat-jilati oleh seekor kucing.
Menurut Nenek Tinah, kucing-kucing cukup membantu dengan menemaninya saat tidur di lokasi tersebut. Mereka berkerumun dan merapatkan tubuhnya untuk saling memberi kehangatan di dekat Nenek Tinah.
Fidel Ali/Kompas.com Nenek Tinah, penyapu jalan di sekitar Komplek GBK.
Tidak takut
Kerasnya kehidupan Jakarta tidak menyiutkan nyali Nenek Tinah untuk mengadu nasib. Ia bercerita, sering disatroni preman yang meminta jatah ketika dirinya sedang bekerja atau saat beristirahat.
"Saya punya sapu, kalau mereka datang ya saya sorong saja sapu ini," sembari menunjuk sapu lidi yang berada di depan dan belakangnya itu.
Nyali Nenek Tinah melebihi suaminya yang juga memiliki profesi sebagai petugas kebersihan. Suaminya lebih memilih tidak mencari masalah dengan preman seperti itu.
Tak hanya itu, Nenek Tinah juga memiliki fisik yang kuat. Saat berbicara, tidak terlihat kondisi lemah, tenaganya masih terkumpul.
"Suami saya tidak kuat, kalau sore atau malam pulang ke kosan. Tidur di sana, kalau saya di sini saja," terangnya.
Bagi dirinya, kondisi saat ini sudah lebih dari cukup. Ia pun tak ingin mengemis ke orang untuk mendapatkan belas kasihan dan lembaran rupiah.
Ketika ditanya apakah ingin mengadukan kondisinya ke Gubernur DKI Jakarta agar kehidupannya jadi lebih baik seperti yang dilakukan sebagian orang, ia pun menolaknya.
"Tidak usah mas, begini saja saya sudah bagus," tutupnya. (Fidel Ali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar