Selasa, 09 Agustus 2016

Kisah Pengamen Cipulir Korban Salah Tangkap

Korban salah tangkap, dua pengamen Cipulir Nurdin Priyanto (26) dan Andro Supriyanto (21) usai sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2016).
Raut wajah bahagia tak tampak dari wajah Andro Supriyanto (21) dan Nurdin Priyanto (26). Padahal mereka baru saja memenangkan sidang praperadilan tuntutan ganti rugi atas kesalahan penegak hukum menangkap dan mengadili pada 2013 silam. 

Selasa (9/8/2016), Hakim Totok Sapti Indrato memutuskan mengabulkan permohonan ganti rugi mereka sebesar Rp 72 juta. Padahal, Andro dan Nurdin mengajukan permohonan praperadilan agar negara mengganti rugi sebesar Rp 1 miliar. 

Dalam ketatapannya, Hakim menggugurkan sebagian tuntutan ganti rugi dengan alasan tidak ada bukti. Rincian tuntutan ganti rugi terbagi menjadi materil dan immateril dengan Andro meminta ganti rugi materil Rp 75.440.000 dan immateril Rp 590.520.000. 

Sedangkan Nurdin, meminta ganti rugi materil Rp 80.220.000 dan immateril Rp 410.000.000. Tuntutan materiil berisi ongkos dan biaya yang dikeluarkan keluarga mereka dari proses penyidikan hingga persidangan. 

Namun, hakim hanya mengakui ganti rugi materiil terhadap kehilangan mata pencaharian mereka berdua sebagai pengamen, yaitu Rp 150.000 masing-masing per hari, selama delapan bulan ditahan. 

Totok juga menjelaskan bahwa pembayaran ganti rugi ini tidak dilakukan oleh instansi yang bersangkutan yaitu Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melainkan oleh negara melalui Kementerian Keuangan.

Kerugian dan derita akibat salah tangkap 


Uang sebesar Rp 36 juta yang diterima masing-masing Andro dan Nurdin untuk memulai hidup baru dengan berdagang, tak sepadan dengan derita yang mereka rasakan selama ditahan. 

Kasus ini bermula pada 30 Juni 2013, ketika seorang pengamen bernama Dicky Maulana ditemukan tak bernyawa di jembatan Cipulir. Namun enam orang teman Dicky yang melaporkan ini justru dicokok oleh kepolisian dan dipaksa untuk mengaku. 

Mereka adalah Andro, Nurdin, dan empat orang pengamen lain yang masih di bawah umur. Mereka dipaksa mengaku dengan cara disiksa, dipukul, disetrum, dan berbagai macam penyiksaan lainnya oleh polisi. Tak tahan dengan siksaan fisik, mereka akhirnya mengaku bersalah. 

"Saya belum maafin polisi-polisi yang siksa saya," ujar Andro usai persidangan kemarin. 

Setelah polisi mendapat pengakuan itu, kasus mereka pun disidangkan dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dengan hukuman tujuh tahun penjara. Perjuangan keluarga Andro dan Nurdin tak berhenti sampai di situ, mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menang. 

Pasalnya, pembunuh sebenarnya sudah diketahui dan mengaku. Hakim menyatakan mereka tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan. Mereka pun dibebaskan pada Maret 2014 setelah delapan bulan ditahan. 

Putusan itu diperkuat ketika Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang tak terima mereka dibebaskan, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun ditolak. Meski telah menghirup udara bebas, keduanya tetap hidup nelangsa. Tak ada orang yang mau mempekerjakan mereka. Lingkungan dan tetangga pun melihat mereka dengan sebelah mata. Nurdin bahkan dicerai oleh istrinya sendiri. 

Mereka akhirnya hanya mampu kembali ke jalan untuk mengamen. Tuntutan ganti rugi ini menjadi kesempatan Andro dan Nurdin untuk mengembalikan kerugian yang selama ini dialami. 

Cambuk bagi negara 


Kuasa hukum Andro dan Nurdin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Bunga Siagian, mengatakan meski uang yang diterima jauh dari harapan, dikabulkannya sebagian permohonan Andro dan Nurdin menjadi cambuk bagi negara. 

"Artinya negara sudah mengeluarkan uang karena ketidakprofesionalan institusinya, dalam hal ini kepolisian juga kejaksaan," kata Bunga. 

Bunga mengatakan, Presiden Joko Widodo selaku kepala negara diminta mengevaluasi lembaga penegak untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi. 

"Presiden harus melihat, harus ada evaluasi institusi di bawahnya. Sehingga tidak ada lagi masalah salah tangkap atau merekayasa bukti yang akhirnya menghasilkan korban salah tangkap seperti Andro dan Nurdin," ujarnya. 

Adapun dasar hukum yang digunakan untuk meminta ganti rugi adalah PP Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP. Dalam PP ini, pasal mengenai ganti rugi direvisi. PP Nomor 27 Tahun 1983 yang sebelumnya, mengatur bahwa korban salah tangkap atau peradilan sesat dapat meminta ganti rugi dengan besaran Rp 5.000 hingga Rp 3.000.000. 

Namun pada 2015 lalu besaran ini direvisi di PP Nomor 92 dengan besaran Rp 500.000 hingga Rp 600 juta. "Setahu kami kasus Andro dan Nurdin ini implementasi yang pertama atas PP ini," ujar Bunga. Kasus ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia. Bunga mengajak agar seluruh korban salah tangkap berani memperjuangkan keadilan. 

Dalam waktu dekat, Bunga juga rencananya akan memperjuangkan hak bagi empat korban salah tangkap lainnya yang masih di bawah umur.

Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar