Pekerja asing asal China diduga melanggar peraturan ketenagakerjaan di Jatim karena tidak memiliki keahlian khusus. Mereka masuk menggunakan visa kunjungan wisata, kemudian bekerja sebagai tenaga kerja kasar. Pemprov dinilai kecolongan.
Ratusan tenaga kerja asing (TKA) asal China ditemukan di sejumlah pabrik di Jawa Timur. Salah satu perusahaan yang mempekerjakan ratusan TKA itu yakni di PT Wuhan Engineering di Gresik (pabrik Amoniak Urea II milik PT Petrokimia).
Sebuah sumber menyebut, keberadaan pekerja asing asal China itu tidak hanya dipekerjakan oleh PT Wuhan tapi juga oleh PT Eleco selaku sub kontraktor proyek Amurea II yang ditangani PT Pupuk Indonesia Energy (PIE), PT Pembangunan Perumahan (PP) dan PT Adhi Karya.
Orang-orang China tersebut diduga melanggar peraturan ketenagakerjaan di Jatim, karena tidak memiliki keahlian khusus, melainkan sebagai tenaga kerja kasar. Pemprov dinilai kecolongan atas keberadaan tenaga kerja asing ini.
Menanggapi hal itu, Kepala Disnakertransduk Jatim Sukardo tidak membantah adanya TKA asal Tiongkok di PT Wuhan tersebut. Dan jumlahnya sebanyak 76 orang TKA. Mereka inilah yang menggarap proyek di pabrik Urea dan Amoniak milik BUMN PT Petrokimia Gresik.
“Sejak April hingga November 2016 ada TKA 76 orang asal Tiongkok. Perusahaannya ada tiga kontraktor. Pada Juni 2016 tim Disnakertransduk Jatim telah turun melakukan pengawasan,” ungkap Sukardo, Rabu (14/12/2016).
Dijelaskan, soal hasil pengawasan tim dari Disnakertransduk Jatim diketahui dari 76 orang TKA untuk izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA) yang masih berlaku hanya 32 orang TKA. Sedangkan sisanya 44 orang TKA masih proses perpanjangan alias masih diurus.
“Pada November 2016, juga telah dilakukan sweepping dari pihak Imigrasi Tanjung Perak. Kemudian, pada 1 Desember 2016 juga ada somasi dari asosiasi pekerja proyek di sana kepada perusahaan. Itu informasi dari Disnaker Gresik. Langkah selanjutnya, mereka melakukan koordinasi dengan imigrasi dan kepolisian,” tegasnya.
Pihaknya mengaku akan terus melakukan pengawasan dengan menurunkan tim pengawas melakukan pemeriksaan apakah ada kesesuaian IMTA dengan Rencana Penempatan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Sementara, berdasarkan data yang dimilikinya hingga saat ini telah masuk sebanyak 3.460 TKA yang telah terdaftar masuk ke Jatim. Dari jumlah itu sebagian besar sebanyak 40 persen berasal dari Tiongkok. Mereka tersebar di kawasan Industri yang ada di ring satu seperti Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan.
“Pelanggaran terbanyak TKA di Jatim adalah masuk dengan visa kunjungan wisata, tapi disalahgunakan untuk bekerja. Sedangkan untuk TKA yang terdaftar itu masuk ke Jatim atas izin perusahaan yang mempekerjakan,” pungkasnya.
Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf menanggapi serbuan TKA yang disinyalir ditempatkan secara ilegal di sejumlah perusahaan di Jatim.
Gus Ipul, sapaannya, dengan tegas menyatakan kasus ratusan TKA asal China yang bekerja di PT Wuhan Engineering Gresik merupakan pelanggaran dan harus segera ditindak.
“Untuk kasus TKA asal China di Gresik itu memang ada pelanggaran. Separuh (32 orang) punya izin, separuh (44 orang) katanya masih dalam proses. Kan itu enggak benar,” tegasnya di Surabaya, Kamis (15/12/2016).
Karena itu, ia meminta hal tersebut menjadi perhatian semua pihak agar perusahaan-perusahaan tidak seenaknya mempekerjakan orang asing yang tidak memiliki izin.
Gus Ipul bahkan berani menjamin Pemprov Jatim akan bersikap tegas dengan memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan ‘nakal’ ini. Namun tak disebutkan sanksi apa yang dimaksud pria yang juga mantan Menteri era Presiden SBY itu.
“Nanti akan kita cobalah. Kita akan lihat sanksi-sanksi yang memungkinkan. Tapi pasti akan diberikan sanksi, (termasuk BUMN PT Petrokimia Gresik), iya pastilah, pasti. Semua akan terkena sanksi kalau tidak sesuai prosedur,” cetusnya.
Lebih lanjut, untuk memastikan keberadaan warga asing di Jatim yang ilegal, Pemprov Jatim juga telah menggelar rapat dengan Kementerian Hukum dan HAM. Dari pertemuan itu, faktanya ada beberapa indikasi pelanggaran keimigrasian yang dilakukan sebagian besar oleh warga negara asing asal Cina.
“Data yang masuk ke saya menyebutkan pelanggarannya meningkat. Pada 2015 ada 16 pelanggaran keimigrasian, dimana 14 pelanggaran dilakukan warga negara China. Tahun 2016 ini ada 150 sampai 200 WNA masuk dari Bandara Juanda Surabaya sudah over stay tapi sampai saat ini belum diketahui keberadaannya,” pungkasnya.
Sementara data Aliansi Buruh Jawa Timur menyebutkan di Jatim sudah ada sekitar 2.000 TKA ilegal yang sebagian besar atau 90 persennya berasal dari China. Keberadaan mereka saat ini tersebar di sejumlah perusahaan di Jawa Timur seperti di Surabaya, Gresik, Probolinggo, Pasuruan dan Lamongan.
Disampaikan koordinator Aliansi Buruh Jawa Timur Jamaludin, pihaknya menenggarai maraknya TKA masuk ke Jawa Timur karena longgarnya peraturan yang dibuat pemerintah pusat karena menghapus kewajiban menggunakan bahasa Indonesia bagi TKA dan menghilangkan kewajiban menerapkan rasio setiap penggunaan 1 orang TKA perusahaan diwajibkan menyerap 100 tenaga kerja lokal.
Staf anggota DPR RI, Rieke Dyah Pitaloka itu mendesak pemerintah daerah serius dan tegas menyikapi maraknya TKA. Termasuk gencar melakukan sweeping terhadap TKA yang bekerja di pabrik maupun proyek-proyek pemerintah dan swasta.
“Kalau ada pelanggaran harus ditindak tegas dan dideportasi,” tegas Jamal, panggilan Jamaludin.
Dia juga menyarankan pengawasan ketenagakerjaan, khususnya TKA lebih ketat. Apalagi Jatim sudah punya Perda No.8 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan ketenagakerjaan. Mengutip Pasal 35 ayat (2) bahwa perusahaan dilarang mempekerjakan TKA pada jabatan tertentu.
“Kalau Perda tersebut dilanggar, sanksinya berupa pidana kurungan 6 bulan dan denda Rp50 juta harus ditegakkan terhadap semua pelanggaran yang terjadi tak peduli BUMN atau BUMD,” tegasnya.
Mau Digaji di Bawah UMK
Sebelumnya Komisi E DPRD Jatim pernah memprioritaskan pembahasan Raperda tentang Perlindungan Tenaga Kerja pada masa sidang pertama tahun 2016.
Alasannya, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah resmi diberlakukan, namun regulasi untuk memproteksi tenaga kerja asing masuk Indonesia khususnya Jatim belum ada. Sehingga, dikhawatirkan tenaga kerja lokal menjadi penonton di negeri sendiri.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Suli Daim yang menyebut, ”Raperda perlindungan tenaga kerja akan jadi prioritas Komisi E untuk dibahas pada masa sidang pertama tahun 2016,” ujarnya, saat itu.
Serbuan tenaga kerja asing bukan isapan jempol belaka. Bahkan berdasarkan data Disnakertransduk Jatim sebelumnya menyebut, jumlah tenaga kerja asing yang sudah masuk ke Jatim sekitar 14 ribu orang.
Ironisnya lagi, jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tahun 2016 diperkirakan bertambah banyak, lantaran banyak pengusaha yang melakukan efisiensi akibat kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK).
”Pengusaha juga mengancam akan mempekerjakan tenaga kerja asing khususnya dari China karena mereka mau digaji di bawah UMK. Kalau tidak ada regulasi tegas, kami khawatir Jatim akan diserbu tenaga kerja asing,” ungkapnya.
Pertimbangan lainnya, kata Suli sesuai dengan Mutual Recognition Agreement (MRA), tenaga kerja asing yang bebas bekerja di negara-negara Asean hanyalah mencakup delapan sektor yaitu akuntansi, teknik, survei, arsitektur, keperawatan, kesehatan, perawatan gigi dan pariwisata.
“Tapi faktanya banyak perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing di luar delapan sektor itu. Karena itu kami akan minta Disnakertransduk Jatim membuat laporan terkait kualifikasi tenaga kerja asing,” tegasnya.
Tidak menutup kemungkinan, sebelum pembahasan Raperda Perlindungan Tenaga Kerja dimulai, Komisi E juga akan sidak ke beberapa perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing. Seperti yang banyak dijumpai di Mojokerto, Gresik, Sidoarjo maupun Surabaya. “Masukan ini nantinya diperlukan untuk upaya memasukkan penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa lokal dalam Perda Perlindungan Tenaga Kerja, ” jelasnya.
Di sisi lain, Komisi E juga mendorong pemerintah provinsi meningkatkan standar dan kompetensi tenaga kerja lokal melalui program sertifikasi profesi dan peningkatan sarana Balai Latihan Kerja (BLK). Bahkan kualitas Perguruan Tinggi di Jatim yang memiliki fakultas mencetak tenaga ahli di 8 sektor MRA juga perlu ditingkatkan agar mudah terserap pasar kerja. “Di Indonesia baru Universitas Indonesia yang mampu menembus 100 besar perguruan tinggi di Asia, jadi ini juga harus jadi perhatian penyiapan SDA yang berkualitas,” ungkapnya.
Selain itu, Komisi E juga berharap pemerintah pusat dan DPR RI segera merevisi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk disesuaikan dengan kondisi yang ada. Terlebih Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi hanya membuat Permen No. 72 tahun 2015 tentang Pengupahan. Padahal tantangan riil adalah serbuan tenaga kerja asing.
”Sepertiga penduduk Asean itu ada di Indonesia dan Jatim terbesar kedua setelah Jabar. Kalau pemerintah pusat tak segera merevisi UU Ketenagakerjaan kami khawatir pekerja lokal bisa tergusur oleh tenaga kerja asing karena kepentingan kaum pemodal (kapitalis),” pungkasnya.
Mengancam Kerawanan Sosial
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai, kebijakan pemerintah yang memberlakukan bebas visa kepada sejumlah negara berimbas kepada munculnya imigran-imigran gelap yang ada di Indonesia. Tidak hanya itu, Yusril juga menyoroti soal masuknya pekerja China ke dalam sejumlah proyek-proyek pembangunan di Indonesia.
Menurut Yusril, pemberian bebas visa tersebut justru diberikan kepada negara-negara yang tergolong sebagai negara miskin dan penduduknya cenderung meninggalkan negaranya lantaran alasan politik dan ekonomi.
”Negara-negara Afrika dan Asia Selatan, Cina, Myanmar, dan lain-lain, diberi bebas visa, tapi perhitungkan dampak sosial dan politiknya bagi negara kita. Kini, imigran gelap yang datang menggunakan fasilitas bebas visa mulai memusingkan kita,” ujar Yusril dalam akun twitter pribadinya, beberapa waktu lalu.
Tidak hanya itu, Yusril juga menyebut adanya kesalahan lain yang dilakukan pemerintah, khususnya mengenai kebijakan soal persetujuan masuknya pekerja China sebagai bagian dari syarat investasi dan pinjaman pemerintah kepada China. Menurutnya, syarat seperti itu harusnya ditolak lantaran Indonesia bakal kebanjira pekerja asal China.
Hal ini pun dikhawatirkan merampas kesempatan kerja rakyat Indonesia sendiri. Bahkan, Yusril menilai, kedatangan pekerja asing itu dapat berpotensi menimbulkan masalah sosial, politik, dan keamanan.
”Pekerja China, yang konon mencapai 10 juta itu jelas tidak mudah untuk dikontrol. Sebagian besar mereka pasti tidak akan kembali ke China. Kedatangan pekerja asing yang sangat besar dapat menimbulkan persoalan sosial, politik, ekonomi, dan keamanan dalam negeri,” tuturnya.
Untuk itu, Yusril pun berharap dapat mengkaji ulang terkait syarat masuknya pekerja asing, terutama asal China, dalam proses investasi atauapun pinjaman kepada China. ”Pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan membolehkan datangnya pekerja asal China ini demi kedaulatan bangsa dan negara kita,” katanya.
Yusril juga mengkritik Menteri Tenaga Kerja (Manaker) Muhammad Hanif Dhakiri dan pasukan Medsos pendukungnya yang gagal memberikan penjelasan yang memuaskan atas membanjirnya tenaga kerja China ke Indonesia. Mereka justru sibuk membantah rumor angka 10 juta pekerja China yang mereka katakan sebagai kebohongan.
Angka tersebut dikatakan sebagai target kedatangan wisatawan asal China ke negara kita. Padahal, target kedatangan 10 juta wisatawan China juga tak ada dalam proyeksi pemerintah dalan beberapa tahun mendatang. ”Angka 10 juta memang bisa diperdebatkan. Tapi, jumlah itu bisa saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan, sejalan dengan kian membesarnya pinjaman proyek dan ‘investasi’ Cina di negeri kita,” kritik Yusril.
Ini persoalannya bukanlah jumlah angka 10 juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat kita sendiri yang dirampas pekerja kasar dari China dengan makin besarnya pinjaman dan “investasi” China di sini. Pinjaman dan “investasi” China itu akhirnya hanya untuk menciptakan lapangan kerja buat rakyatnya China, sementara rakyat kita tak mendapat manfaat apa-apa.
Menaker dan para pendukungnya juga gagal membandingkan dengan jumlah TKI di Hong Kong yang bagian terbesarnya adalah TKW pembantu rumah tangga yang jumlahnya lebih besar dari tenaga kerja China di Indonesia. Perbandingan ini sangat tidak relevan. Para TKI itu diikat dengan kontrak kerja dan dapat dipulangkan kapan saja. Pekerja China di sini kebanyakan ilegal.
“Mengontrol TKI di Metropolitan Hong Kong jauh lebih mudah dibandingkan mengontrol pekerja Cina yang hadir mengerjakan proyek-proyek pinjaman atau ‘investasi’ Cina. Menaker Hanif perlu merazia pekerja Cina sampai ke hutan di Kalsel, suatu hal yang tak pernah dilakukan pejabat setingkat menteri di Cina dalam mengawasi para TKI,” ujar Yusril.sar/bej/rep
sumber : siaga indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar